PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Lingkungan hidup menurut Undang-Undang nomor 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia
beserta perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Bila ditinjau lebih lanjut
mengenai.
Undang-Undang tersebut, maka manusia dengan lingkungan
sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan
sosial ekonomi yang masih rendah didukung okeh iklim yang sesuai untuk
pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab
tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan di Indonesia (Zit,
2000).
Ada 3 jenis cacing yang terpenting adalah cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichura). (Depkes
RI, 2004). Ascaris lumbricoides merupakan helmintiasis yang paling sering menyerang
anak-anak, cacing ini telah menyebabkan lebih dari satu milyar kasus kecacingan
di seluruh dunia.
Angka kejadian infeksi Ascaris lumbricoides di
Indonesia sebesar 70 ± 80%, keadaan ini menyebabkan penyakit ascariasis
menjadi penting dan hingga saat ini masih merupakan masalah dibidang ilmu
kesehatan anak dan kesehatan masyarakat. Penyakit cacingan merupakan salah satu
masalah kesehatan di Indonesia. Penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang
kotor, kuku panjang dan kotor menyebabkan telur cacing terselip.
Penyebaran cacing salah satu penyebabnya adalah
kebersihan perorangan yang masih buruk. Dan dapat menular diantara murid sekoah
yang sering berpegangan tangan sewaktu bermain. Sampai saat ini penyakit
kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama
daerah pedesaan.
Pencegahan infeksi berulang sangat penting dengan
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat seperti menghindari kontak dengan
tanah yang kemungkinan terkontaminasi feses manusia, cuci tangan dengan sabun dan
air sebelum memgang makanan, lindungi makanan dari tanah dan cuci atau panaskan
makanan yang jatuh kelantai. Beberapa peneliti ternyata menunjukkan bahwa usia
sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering
berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
1.2
Tujuan penulisan
Tujuan
penulisan dari makalah ini adalah:
1.2.1
Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan makalah ini,
mahasiswa di harapkan mampu memahami konsep askariasis dan mampu
mengaplikasikan asuhan keperawaan sesusai dengan community family and geriatric
nursing.
1.2.2
Tujuan Khusus
Setelah menyelesaikan makalah ini
mahasiswa diharapkan mampu:
1.
Untuk mengetahui yang dimaksud Ascariasis dan
morfologinya.
2.
Untuk mengetahui siklus terjadinya Ascariasis.
3.
Untuk mengetahui gejala-gejala terinfeksi cacing
Ascaris L.
4.
Untuk mengetahui cara pencegahan Ascariasis.
1.3
Metode Penulisan
Metode penulisan yang
kamu gunakan dalam penyusunan makalah ini adalah mengambarkan, memaparkan serta
mensimulasi apa yang telah kami dapat dan telah kami pelajari sebelumnya dari
berbagai sumber yang telah kami padukan menjadi satu rangkaian berdasarkan
hasil pemikiran kelompok agar para mahasiswanya dapat mengerti dan memahami
tentang salah satu mata kuliah yang kami sajikan.
1.4
Sistematika Penulisan
BAB
I
Terdiri dari latar
belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan
BAB
II
Terdiri dari Pengertian
(Askariasis), Etiologi, Patofisiologi, Epidemiologi, Manifestasi Klinis, Komplikasi, Faktor
Penyebab Ascariasis, Penularan
Penyakit, Pencegahan, Diagnosis,
Pengobatan, Pencegahan penyakit askariasis.
BAB
III
Bab ini berisi tentang asuhan
keperawatan sesusai dengan community family and geriatric nursing.
BAB IV
Terdiri dari kesimpulan.
BAB
II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1
Pengertian
Ascariasis
merupakan infeksi cacing yang paling sering ditemui. Diperkirakan prevalensi di dunia 25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia.
Biasanya bersifat symtomatis. Prevalensi terbesar pada daerah tropis dan di
negara berkembang dimana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja manusia
atau penggunaan tinja sebagai pupuk (Soegijanto, 2005).
Ascaris
lumbricoides merupakan nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi manusia. Ascaris telah dikenal pada masa
Romawi sebagai Lumbricus teres
dan mungkin telah menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak
terdapat di daerah yang beriklim panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di
daerah beriklim sedang.
Askariasis adalah penyakit parasit
yang disebabkan oleh cacing gelang Ascaris lumbricoides. Askariasis adalah
penyakit kedua terbesar yang disebabkan oleh makhluk parasit.
2.2
Etiologi
Ascariasis
disebabkan oleh Ascaris Lumbricoides. Stadium infektif Ascaris Lumbricoides
adalah telur yang berisi larva matang. Sesudah tertelan oleh hospes manusia,
larva dilepaskan dari telur dan menembus diding usus sebelum migrasi ke
paru-paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan paru-paru
masuk ke dalam ruang alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan
kembali. Setelah sampai ke usus kecil larva berkembang menjadi cacing dewasa
(jantan berukuran 15-25cm x 3mm dan betina 25-35cm x 4mm).
Cacing
betina mempunyai masa hidup 1-2 tahun dan dapat menghasilkan 200.000 telur
setiap hari. Telur fertil berbentuk oval dengan panjang 45-60 µm dan lebar
35-50 µm. Setelah keluar bersama tinja, embrio dalam telur akan berkembang
menjadi infektif dalam 5-10 hari pada kondisi lingkungan yang mendukung.
2.3
Patofisiologi
Ascaris Lumbricoides adalah nematoda terbesar yang umumnya menginfeksi
manusia. Cacing dewasa berwarna putih atau kuning yang hidup selama 10-24
bulandi jejunum dan bagian tengah ileum. Cacing betina menghasilkan 200.000
telur per hari yang akan terbawa bersama tinja. Telur fertil apabila
terjatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut
dapat menginfeksi manusia. Telur dapar hidup dalam tanah selama 17 bulan.
Infeksi umumnya terjadi melalui tangan pada tangan atau makanan kemudian masuk
ke dalam usus kecil (deudenum). Pada tahap kedua larva akan melewati dinding
usus dan melewati sistem porta menuju hepar dan kemudian ke paru melalui
sirkulasi vena. Mereka kemudian memecah jaringan paru-paru masuk ke dalam ruang
alveolus, naik ke cabang bronkus dan trakea, dan tertelan kembali. Diperlukan
65 hari untuk menjadi cacing dewasa. Infeksi yang berat dapat diikuti pneumonia
dan eosinofilia (Soegijanto, 2005).
2.4
Epidemiologi
Ascariasis
merupakan infeksi cacing pada manusia yang angka kejadian sakitnya tinggi
terutama di daerah tropis dimana tanah memiliki kondisi yang sesuai untuk
kematangan telur di dalam tanah.
Menurut
Berhman (1999), telur-telur Ascaris lumbricoides ini terbukti tetap infektif pada tanah selama berbulan-bulan dan dapat bertahan hidup di cuaca
yang lebih dingin (5-10oC) selama 2 tahun. Diperkirakan hampir 1
miliar penduduk terinfeksi dan prevalensi pada komunitas-komunitas tertentu
lebih besar dari 80%. Prevalensi
dilaporkan terjadi di lembah sungai Yangtze di Cina. Masyarakat yang memiliki
sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian
juga pada masyarakat yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi
geografis yang medukung. Penyebaran terutama melalui tangan ke mulut (hand to
molth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi.
Prevalensi
dan intensitas gejala symtomatik yang paling tinggi terjadi pada anak-anak,
yang paling sering ditemui adalah obstruksi intestinal. Di antara anak-anak
usia 1-12 tahun yang berada di Rumah Sakit Cape Town dengan keluhan abdominal
antara 1958-1962, 12.8 % dari infeksinya di sebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Anak-anak dengan
ascariasis kronis dapat menyebabkan pertumbuhan lambat terkait dengan jumlah
makanan yang di makan. Orang dewasa sering mengalami komplikasi bilier akibat
migrasi cacing dewasa yang mungkin didorong oleh penyakit lain seperti demam
malaria. Di Damaskus, 300 orang yang mengalami ascariasis pada 1988-1993, 98%
mengalami nyeri perut; 4,3% radang akut kelenjar pankreas ; 1,3% obstructive
jaundise ; dan 25% worm emesis. Lebih dari 80% dari pasien ini mempunyai
cholecytectomy sebeumnya (Soegijanto, 2005).
Menurut WHO,
intestinal obstruction pada anak-anak menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan
8.000-100.000 kematian pertahun.
2.5
Manifestasi
Klinis
Manifestasi
klinis menurut Soegijanto (2005), tergantung pada intensitas infeksi dan organ
yang terlibat. Pada sebagian besar penderita dengan infeksi rendah sampai
dengan gejalanya asymtomatis. Gejala klinis paling sering ditemui berkaitan
dengan penyakit paru atau sumbatan pada usus atau saluran empedu. Ascaris dapat
menyebabkan Pulmonari ascariasis ketika memasuki alveoli dan bermigrasi ke
bronki dan trakea. Manifestasi pada paru mirip dengan Syndrom Loffler dengan
gejala infiltrat paru sementara. Tanda-tanda yang paling khas adalah batuk,
spuntum bercak darah, dan eosinofilia. Tanda lain adalah sesak.
Cacing
dewasa dapat menimbulkan penyakit dengan menyumbat usus atau cabang-cabang
saluran empedu sehingga mempengaruhi nutrisi hospes. Cacing dewasa akan memakan
sari makanan hasil pencernaan host. Anak-anak terinfeksi yang memiliki pola
makan yang tidak baik dapat mengalami kekurangan protein, kalori, atau vitamin
A, yang akhirnya akan mengalami pertumbuhan lambat.
Adanya
cacing dalam usus halus menyebabkan keluhan tidak jelas seperti nyeri perut,
dan kembung. Obstruksi usus juga dapat terjadi walaupun jarang yang dikarenakan
oleh massa cacing pada anak yang terinfeksi berat, insiden puncak terjadi pada
umur 1-6 tahun. Mulainya biasanya mendadak dengan nyeri perut kolik berat dan
muntah, yang dapat berbercak empedu ; gejala ini dapat memburuk dengan cepat
dan menyertai perjalanan yang serupa dengan obstruksi usus akut dengan etiologi
lain. Migrasi cacing Ascaris ke saluran empedu telah dilaporkan, terutama yang
terjadi di Filipina dan Cina; kemungkinan keadaan ini bertambah pada anak yang
terinfeksi berat.mulainya adalah akut dengan nyeri kolik perut, nausea, muntah,
dan demam. Ikterus jarang ditemukan (Berhman, 1999).
2.6
Komplikasi
Komplikasi
dari penyakit Ascariasis adalah
sebagai berikut :
1.
Spoilative actio
Anak yang
menderita askariasis umumnya dalam keadaan distrofi. Pada penyelidikan ternyata
askariasis hanya mengambil sedikit karbohidrat ”hospes”, sedangkan protein dan
lemak tidak diambilnya. Juga askariasis tidak mengambil darah hospes. Dapat
ditarik kesimpulan bahwa distrofi pada penderita askariasis disebabkan oleh
diare dan anoreksia.
2.
Toksin
Chimura dan
Fuji berhasil menbuat ekstrak askariasis yang disebut askaron yang kemudian
ketika disuntikkan pada binatang percobaan (kuda) menyebabkan renjatan dan
kematian, tetapi kemudian pada penyelidikan berikutnya tidak ditemukan toksin
yang spesifik dari askaris. Mungkin renjatan yang terjadi tersebut disebabkan
oleh protein asing.
3.
Alergi
Terutama
disebabkan larva yang dalam siklusnya masuk kedalam darah, sehingga sesudah
siklus pertama timbul alergi terhadap protein askaris. Karenanya pada siklus
berikut dapat timbul manifestasi alergi berupa asma bronkiale, ultikaria,
hipereosinofilia, dan sindrom Loffler. Simdrom Loffler merupakan kelainan
dimana terdapat infiltrat (eosinofil) dalam paru yang menyerupai
bronkopneumonia atipik. Infiltrat cepat menghilang sendiri dan cepat timbul
lagi dibagian paru lain. Gambaran radiologisnya menyerupai tuberkulosis
miliaris.Disamping itu terdapat hiperesinofilia (40-70%). Sindrom ini diduga
disebabkan oleh larva yang masuk ke dalam lumen alveolus, diikuti oleh sel
eosinofil. Tetapi masih diragukan, karena misalnya di indonesia dengan infeksi
askaris yang sangat banyak, sindrom ini sangat jarang terdapat, sedangkan di
daerah denagn jumlah penderita askariasis yang rendah, kadang-kadang juga
ditemukan sindrom ini.
4.
Traumatik action
Askaris
dapat menyebabkan abses di dinding usus, perforasi dan kemudian peritonitis.
Yang lebih sering terjadi cacing-cacing askaris ini berkumpul dalam usus,
menyebabkan obstuksi usus dengan segala akibatnya. Anak dengan gejala demikian
segera dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pemeriksaan dengan barium
enema guna mengetahui letak obstruksi. Biasanya dengan tindakan ini
cacing-cacing juga dapat terlepas dari gumpalannya sehingga obstruksi dapat
dihilangkan. Jika cara ini tidak menolong, maka dilakukan tindakan operatif.
Pada foto rontgen akan tampak gambaran garis-garis panjang dan gelap (filling
defect).
5.
Errantic action
Askaris
dapat berada dalam lambung sehingga menimbulkan gejala mual, muntah, nyeri
perut terutama di daerah epigastrium, kolik. Gejala hilang bila cacing dapat
keluar bersama muntah. Dari nasofaring cacing dapat ke tuba Eustachii sehingga
dapat timbul otitis media akut (OMA) kemudian bila terjadi perforasi, cacing
akan keluar. Selain melalui jalan tersebut cacing dari nasofaring dapat menuju
laring, kemudian trakea dan bronkus sehingga terjadi afiksia. Askaris dapat
menetap di dalam duktus koledopus dan bila menyumbat saluran tersebut, dapat
terjadi ikterus obstruktif. Cacing dapat juga menyebabkan iritasi dan infeksi
sekunder hati jika terdapat dalam jumlah banyak dalam kolon maka dapat
merangsang dan menyebabkan diare yang berat sehingga dapat timbul apendisitis
akut.
6.
Irritative Action
Terutama
terjadi jika terdapat banyak cacing dalam usus halus maupun kolon. Akibat hal
ini dapat terjadi diare dan muntah sehingga dapat terjadi dehidrasi dan
asidosis dan bila berlangsung menahun dapat terjadi malnutrisi.
7.
Komplikasi lain
Dalam
siklusnya larva dapat masuk ke otak sehingga timbul abses-abses kecil; ke
ginjal menyebabkan nefritis; ke hati menyebabkan abses-abses kecil dan
hepatitis. Di indonesia komplikasi ini jarang terjadi tetapi di srilangka dan
Filipina banyak menyebabkan kematian.
2.7
Faktor Penyebab Ascariasis
Proses perjalanan penyakit ascariasis di dalam
masyarakat terjadi melalui beberapa faktor, yaitu: adanya faktor penyebab
(agen), adanya sumber penularan (reservoir maupun resource), adanya
cara penularan khusus (mode of transmision), adanya cara meninggalkan host
dan cara masuk ke host lainnya, serta ketahanan host itu sendiri.
Sebagai makhluk hidup Ascaris
lumbricoides juga memiliki potensi untuk mempertahankan dirinya terhadap
faktor lingkungan, serta berkembang biak pada lingkungan yang sesuai dan
menguntungkan, terutama terhadap host dimana cacing tersebut berada.
2.8
Penularan Penyakit
Penularan ascariasis ada 2, yaitu :
1.
Sumber Penularan
Reservoir atau sumber penularan dapat berupa organisme
hidup atau benda mati (misalnya tanah dan air), dimana unsur
penyebab penyakit menular dapat hidup secara normal dan berkembang biak.
Konsep reservoir pada Ascaris lumbricoides, adalah tanah, air dan makanan yang
mengandung telur Ascaris lumbricoides.
2.
Cara Penularan
Ascaris lumbricoides ditularkan melalui makanan yang
tercemar cacing. Benda yang mengandung telur cacing berfungsi sebagai
penyalur penularan disebut terkontaminasi. Biasanya sayuran yang
menggunakan pupuk dari kotoran manusia banyak terkontaminasi dengan telur
cacing Ascaris lumbricoides. Kontak dengan tanah yang terkontaminasi
dengan jenis telur cacing, tanpa disertai perilaku mencuci tangan sebelum
makan sering menjadi cara penularan pada jenis cacing ini.
2.9
Pencegahan
Untuk pencegahan, terutama dengan menjaga hygiene dan
sanitasi, tidak buang air besar di sembarang tempat, melindungi makanan dari
pencemaran kotoran, mencuci bersih tangan sebelum makan, dan tidak memakai/
tinja manusia sebagai pupuk tanaman.
Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyakit ini adalah sebagai berikut :
1.
Mengadakan kemotrapi massal setiap 6 bulan sekali
didaerah endemik ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
2.
Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
3.
Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat
mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
4.
Makan makanan yang dimasak saja.
5.
Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di
daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk.
2.10
Diagnosis
1.
Ditegakkan
dengan :
a.
Menemukan telur Ascaris lumbricoides dalam
tinja.
b.
Cacing ascaris keluar bersama muntah atau tinja
penderita
2.
Pemeriksaan Laboratorium
a.
Pada pemeriksaan darah detemukan periferal
eosinofilia.
b.
Detemukan larva pada lambung atau saluran pernafasan
pada tenyakit paru.
c.
Pemeriksaan
mikroskopik pada hapusan tinja dapat digunakan untuk memeriksa sejumlah besar
telur yang di ekskresikan melalui anus.
3.
Pemeriksaan Foto
a.
Foto thoraks menunjukkan gambaran otak pada lapang
pandang paru seperti pada sindrom Loeffler
b.
Penyakit pada saluran empedu
c.
Endoscopic retrograde
cholangiopancreatography (ERCP) memiliki sensitivitas 90% dalam membantu
mendiagnosis biliary ascariasis.
d.
Ultrasonography memiliki
sensitivitas 50% untuk membantu membuat diagnosis biliary ascariasis.
2.11
Pengobatan
1.
Obat
pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dengan
dosis maksimum 3 g/hari
2.
Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)
3.
Oleum
kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)
4.
Santonin :
tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya dicampur dengan
kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama diberikan selama 3 hari
berturut-turut.
Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg
1-3
tahun = 3 x 10 mg
1-4
3-5 tahun = 3 x 15 mg
1-5
Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg
1-6
Dewasa = 3 x 25 mg
5.
Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg
BB/hari dosis tunggal.
6.
Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya
menghancurkan cacing. Preparatnya : Fellardon.
7.
Pengobatan
gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O. sekali untuk
semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk
segala usia) atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g).
Piperazinum citrate (pertama : 150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada
interval 12 hari).
Prognosis : baik, terutama jika tidak terdapat
komplikasi dan cepat diberikan pengobatan.
2.12
Pencegahan
Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan
cara sebagai berikut.
1.
Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah
endemis
2.
Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan
frekuensi infeksi tinggi seperti anak-anak sekolah dasar.
3.
Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan
intensitas penyakit atau infeksi yang telah lalu.
4.
Peningkatan
kondisi sanitasi
5.
Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.
6.
Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan
ascariasis.
DAFTAR PUSTAKA
Viqar Z., Loh AK, 1999. Buku
Penuntun Parasitologi Kedokteran. Penerbit
Binacipta.
Berhman RE, Kliegman RM, dan
Arvin AM. 1999. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Editor edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 15. Volume 2.
Jakarta: EGC.
Rudolph, Abraham M. dkk. 2006.
Buku Ajar Pediatri Rudolph. Editor
edisi bahasa Indonesia A. Samik Wahab. Edisi 20. Volume 1. Jakarta : EGC.
Soegijanto, Soegeng. 2005. Kumpulan Makalah Penyakit Ttopis dan Infeksi
di Indonesia. Cetakan 1. Surabaya : Airlangga University Press.
Soegijanto, Soegeng.2005.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di
Indonesia Jilid 4. Surabaya : Airlangga University Press
3 komentar:
Wonderful!! this is really one of the most beneficial blogs I’ve ever browsed on this subject. I am very glad to read such a great blog and thank you for sharing this good info with us.Keep posting stuff like this.
Nanda Diagnosis
Good article.
I like reading your article.
Nanda Care Plan
Nursing Care Plan
Your article is very good.
Continue with the new article.
NCP Nanda
Posting Komentar