. Selamat Datang di Website "masterparlemen.blogspot.com". Kunjungi terus Website saya ya. Terima Kasih... Jangan Lupa Like Facebook saya ya!... Join juga di Google Plus saya ya!. Terima Kasih...

Selasa, 17 Juli 2012

Morbus hansen (Kusta)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia dan memiliki sifat 1). Basil tahan asam dan tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3). Dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri antara 12-21 hari, 5). Masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas (Djuanda, 2005).
Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473 orang (data tahun 1992). Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada bayi, laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penularan Mycobacterium Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak langsung erat dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah  umur, jenis kelamin, ras, genetik, iklim, lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Maka sebagai perawat profesional harus memiliki kompetensi yang baik dalam menanggulangi kejadian penyakit morbus hansen untuk memperbaiki mutu kesehatan masyarakat.





1.1         Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komperhensif pada klien dengan penyakit morbus hansen atau yang sering kita dengar dengan penyakit lepra dan kusta.

1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan kami membuat makalah ini adalah sebagai berikut :
a)             Memahami konsep dasar penyakit morbus hansen
b)            Mampu melakukan pengkajian dan membuat asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
c)             Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien sesuai dengan intervesi keperawatan.
d)            Mengevaluasi dan mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien morbus hansen.

1.2         Metode Penulisan
Dalam makalah ini, kami menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, seperti :
1.2.1   Studi perpustakaan merupakan cara pengambilan data dengan mengumpulkan data-data yang bersumber dari literatur – literatur atau buku – buku penunjang.
1.2.2   Internet merupakan cara pengambilan data dengan mengumpulkan data – data yang bersumber dari media internet atau global.

1.3         Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Memuat tentang latar belakang penulisan, tujuan, metode penulisan dan pengumpulan data serta sistematika penulisan.



BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Bab ini berisikan tentang konsep dasar Trauma thorax dan proses keperawatan, etiologi maupun anatomi fisiologi berhubungan dengan meningitis.

BAB III : PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dari semua teori dan kasus yang telah disusun dan saran untuk semua pihak yang terlibat.

DAFTAR PUSTAKA
Berisikan daftar-daftar bukau yang menjadi bahan pembandingan dalam penyusunan makalah mengenai meningitis.


















BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1         Pengertian
Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria.

2.2         Epidemiologi
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. [4] Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Di Indonesia diketahui 22.175 orang menderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.

2.3         Etiologi
Penyebab Morbus Hansen (lepra/kusta) adalah Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik Berbentuk basil dengan ukuran 3 – 8 UmX0,5 Um, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
Gambar 1. Mycobacterium Leprae (ada pada lampiran)
Mycobacterium Leprae merupakan basil tahan asam dan tahan alkohol, obligat intrasel, dapat diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan.
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Zielhl Nielsen, dengan sediaan diambil dari kedua cuping telinga dan lesi yang ada dikulit, dan didapatkan gambaran BTA positif dengan gambaran globi.
Klasifikasi morbus Hansen terbagi 2 yaitu menurut Ridley dan Jopling dengan tipe atau bentuk : TT, BT, BB, BL, LL sedangkan menurut WHO yaitu : tipe pausibasiler dan multibasiler. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal daripada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi. Kusta bentuk basah(tipelepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Tabel 1. Diagnosis klinis menurut WHO (1995)
Kelainan kulit dan hasil pemeriksaan bakteriologis
PB
MB
1.    Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
1.  1-5 lesi-    hipopigmentasi/eritema
2.  distribusi tidak semetris
3.  hilangnya sensasi yang Jelas
1.    > 5 lesi-    distribusi lebih      simetris
2.    hilangnya sensasi kurang jelas
1.      Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya senses/ kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena)
1.   Hanya satu cabang saraf
-

2.4         Patofisiologi
Terlampir

2.5         Manifestasi Klinis
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel.
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling ada beberapa tipe reaksi yaitu :
1.             Tipe Tuberkoloid ( TT )
a.              Mengenai kulit dan saraf.
b.              Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
c.              Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
d.              Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2.             Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
a.              Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b.              Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
c.              Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d.              Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3.             Tipe Mid Borderline ( BB )
a.              Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
b.              Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
c.              Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
d.              Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
e.              Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4.             Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
5.             Tipe Lepromatosa ( LL )
a.              Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
b.              Distribusi lesi khas :
1)             Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
2)             Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
c.              Stadium lanjutan :
1)             Penebalan kulit progresif
2)             Cuping telinga menebal
3)             Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan keratitis.
d.              Lebih lanjut :
1)             Deformitas hidung
2)             Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
3)             Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
4)             Penyakit progresif, makula dan popul baru.
5)             Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
e.              Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.


2.6         Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis berdasarkan atas :
2.6.1   Anamnesa
2.6.2   Gambaran klinis
b.             Ditemukannya bercak kulit yang mati ras.
c.             Pada pemeriksaan didapatkan :
a)             Penebalan cuping telinga (+)
b)             madarosis (+)
c)             Kulit kering (+)
d)            Saraf facialis : kerusakan (+), penebalan (-)
e)             Saraf aurikularis magnus : kerusakan (-), penebalan (+)
f)              Saraf medianus : kerusakan (+), penebalan (-)
g)             Saraf ulnaris : kerusakan (+), penebalan (-)
h)             Saraf peroneus : kerusakan (+), penebalan (-)
Gambar 2. Letak saraf tepi yang berhubungan dengan kusta (ada pada lampiran)
Gambar 3. Cacat pada kusta (ada pada lampiran)
Gambar 4. Lesi pada kusta
d.            Pada pemeriksaan laboratorium pengecatan ZN : ditemukan bakteri tahan asam berwarna merah (globi).
e.             Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP


2.6.3   Diferential Diagnosa
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.
a.             Vitiligo
Makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.
b.             Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
c.             Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.
2.7         Penatalaksanaan
2.7.1   Non Medikamentosa
a.             Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutik.
b.             Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.
c.             Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
d.            Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.
e.             Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan.
f.              Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen.
g.             Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
h.             Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
i.               Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis.
j.               Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
2.7.2   Medikamentosa
1.             Pausibasiler
a)             Rifampicin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas keperawatan.
b)             DDS (diamino difenil sulfon) 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan maksimal 9 bulan . Setelah selesai minum 6 dosis
2.             Multibasiler
a)             Rifampicin 600 mg/ bulan
b)             Lamprene 300 mg/bulan,
Ditambah :
c)             Lampree 50 mg/hari
d)            DDS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama 12 bulan dan diselrsaikan maksimal 18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis
3.             Mekanisme Kerja Obat
a)             Rifampicin : Bakteriosid (membunuh kuman) ® menghambat DNA – dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada sub unit beta.
b)             DDS : Bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Antagonis kompetitif dari para aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
c)             Lamprene : Bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta bekerja dengan menghambat siklus sel dan transport dari NAK ATPase.
4.             Efek Samping Obat
1)             RIFAMPICIN
b)             Pernapasan ;
Seperti terjadinya sesak dan collaps
c)             Hepatitis, Ginjal.
d)            Saluran cerna : Nyeri,mual,muntah,diare.
e)             Kulit : urticaria.
f)              Flu syndrom : Demam,menggigil,sakit tulang,
2)             DDS (diamino difenil sulfon)
a)             Dermatitis exfoliatif.
b)             Hepatitis, Ginjal.
c)             Sal cerna : Anorexia,mual,muntah.
d)            Anemia.
e)             Saraf : neuropati perifer, sakit kepala, vertigo, psikosis, sulit tidur, penglihatan kabur.
3)             LAMPRENE
a)             Saluran cerna : Diare, nyeri lambung
5.             Prognosis
Setelah program terapi obat, biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan kerjasama dengan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, oftalmologis, dan rehabilitasi. 




































BAB IV
SIMPULAN
Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Gejala klinis dapat berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, san aautonomik). Kerusakan Sensorik : hipoanastesi, anastesi pada lesi. Motorik : kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Autonomik : Persarafan kelenjar keringat sehingga lesi terserang nampak lebih kering.
Morbus Hansen jika didiagnosis dini dan pengobatan tepat dan segera menghasilkan prognosis baik








DAFTAR PUSTAKA
Armaeur H. 1875. Morbus Hansen.
Asing I. 2009. Morbus Hansen (kusta/lepra). Askep gangguan muskuloskeletal.
Barakbah J. Prof. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Djuanda, adi, Hamzah Mochtar, Aizah siti, 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi 4. FK UI.Jakarta
Erfandi. 2010. Penyakit Kusta dan Asuhan Perawatan
Fadillah Y. 2008. Morbus Hansen (Lepra)

Tidak ada komentar: