BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Morbus Hansen atau biasa disebut
sebagai lepra, kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan
organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium Leprae
ditemukan pertama kali oleh akmuer Hasen di norwegia dan memiliki sifat 1).
Basil tahan asam dan tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3). Dapat
diisolasi dan diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri
antara 12-21 hari, 5). Masa inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra
merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas (Djuanda, 2005).
Diperkirakan penderita didunia ±
10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473 orang (data tahun 1992). Insiden dapat
terjadi pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada bayi, laki-laki lebih
banyak dibanding wanita. Penularan Mycobacterium Leprae belum diketahui
dengan jelas, tetapi diduga menular melalui saluran pernapasan (droplet
infection), kontak langsung erat dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang
mempengaruhi penularan penyakit morbus hansen adalah umur, jenis kelamin,
ras, genetik, iklim, lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).
Penyebaran penyakit kusta dari suatu
tempat ke tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan
oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Maka sebagai
perawat profesional harus memiliki kompetensi yang baik dalam menanggulangi
kejadian penyakit morbus hansen untuk memperbaiki mutu kesehatan masyarakat.
1.1
Tujuan
Penulisan
1.2.1
Tujuan Umum
Mampu
melaksanakan asuhan keperawatan secara komperhensif pada klien dengan penyakit
morbus hansen atau yang sering kita dengar dengan penyakit lepra dan kusta.
1.2.2
Tujuan Khusus
Tujuan kami membuat makalah ini adalah sebagai
berikut :
a)
Memahami konsep dasar penyakit morbus
hansen
b)
Mampu melakukan pengkajian dan membuat
asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
c)
Melaksanakan tindakan keperawatan pada
klien sesuai dengan intervesi keperawatan.
d)
Mengevaluasi dan mendokumentasikan
asuhan keperawatan pada klien morbus hansen.
1.2
Metode
Penulisan
Dalam makalah ini, kami menggunakan beberapa teknik pengumpulan
data, seperti :
1.2.1
Studi
perpustakaan merupakan cara pengambilan data dengan mengumpulkan data-data yang
bersumber dari literatur – literatur atau buku – buku penunjang.
1.2.2
Internet
merupakan cara pengambilan data dengan mengumpulkan data – data yang bersumber
dari media internet atau global.
1.3
Sistematika
Penulisan
BAB I :
PENDAHULUAN
Memuat
tentang latar belakang penulisan, tujuan, metode penulisan dan pengumpulan data
serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Bab ini berisikan tentang konsep dasar Trauma
thorax dan proses keperawatan,
etiologi maupun anatomi fisiologi berhubungan dengan meningitis.
BAB III : PENUTUP
Berisikan tentang kesimpulan dari semua teori dan kasus
yang telah disusun dan saran untuk semua pihak yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
Berisikan
daftar-daftar bukau yang menjadi bahan pembandingan dalam penyusunan makalah
mengenai meningitis.
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
2.1
Pengertian
Lepra (penyakit hansen) adalah
infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer
(saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah
zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang
bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu
kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini terutama menyerang
kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat
dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium Leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi
tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa.
Sekitar 50% penderita kemungkinan tertular
karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi. Infeksi juga mungkin
ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang
yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem
kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat terjadi pada semua umur,
paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk lepromatosa 2 kali lebih
sering ditemukan pada pria.
2.2
Epidemiologi
Konon, kusta telah menyerang manusia
sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua
hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. [4] Walaupun
pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis, beberapa
kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam. Pengobatan
yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan
diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga,
bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan
menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat
pada awal 1980-an dan
penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Di Indonesia diketahui 22.175 orang
menderita lepra. Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya
setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.
2.3
Etiologi
Penyebab Morbus Hansen (lepra/kusta)
adalah Mycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta. Sebuah bakteri
yang tahan asam M. leprae juga merupakan
bakteri aerobik Berbentuk
basil dengan ukuran 3 – 8 UmX0,5 Um, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilimgi
oleh membran sel lilin yang
merupakan ciri dari spesies Mycobacterium. M.
leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
Gambar 1. Mycobacterium Leprae
(ada pada lampiran)
Mycobacterium Leprae merupakan
basil tahan asam dan tahan alkohol, obligat intrasel, dapat diisolasi dan
diinokulasi, tetapi tidak dapat dibiakkan.
Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan pewarnaan Zielhl Nielsen, dengan sediaan diambil dari kedua cuping
telinga dan lesi yang ada dikulit, dan didapatkan gambaran BTA positif dengan
gambaran globi.
Klasifikasi morbus Hansen terbagi 2
yaitu menurut Ridley dan Jopling dengan tipe atau bentuk : TT, BT, BB, BL, LL
sedangkan menurut WHO yaitu : tipe pausibasiler dan multibasiler. Kusta bentuk
kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal daripada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi. Kusta bentuk basah(tipelepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal daripada bentuk basah. Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi. Kusta bentuk basah(tipelepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.. Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga. Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Tabel 1. Diagnosis
klinis menurut WHO (1995)
Kelainan kulit dan hasil
pemeriksaan bakteriologis
|
PB
|
MB
|
1.
Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi,
nodus)
|
1. 1-5
lesi- hipopigmentasi/eritema
2. distribusi
tidak semetris
3. hilangnya
sensasi yang Jelas
|
1.
> 5 lesi- distribusi lebih
simetris
2.
hilangnya sensasi kurang jelas
|
1. Kerusakan
saraf (menyebabkan hilangnya senses/ kelemahan otot yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
|
1.
Hanya satu cabang saraf
|
-
|
2.4
Patofisiologi
Terlampir
2.5
Manifestasi Klinis
Reaksi kusta adalah suatu episode
akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman
atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta
yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (
Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada
BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan
perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua
yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran
ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi
pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan
biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi kusta tipe II adalah
hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua
sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun
dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun
dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan
melisis sel.
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling ada beberapa tipe reaksi yaitu :
1.
Tipe Tuberkoloid ( TT )
a.
Mengenai kulit dan saraf.
b.
Lesi bisa satu atau kurang, dapat
berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol healing ( + ).
c.
Permukaan lesi bersisik dengan tepi
meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat
penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
d.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak
adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap
basil kusta.
2.
Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
a.
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
b.
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit
atau skauma tidak sejelas tipe TT.
c.
Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT.
Biasanya asimetris.
d.
Lesi satelit ( + ), terletak dekat
saraf perifer menebal.
3.
Tipe Mid Borderline ( BB )
a.
Tipe
paling tidak stabil, jarang dijumpai.
b.
Lesi
dapat berbentuk macula infiltrate.
c.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas
lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris.
d.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran
bentuk maupun distribusinya.
e.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang
merupaan ciri khas tipe ini.
4.
Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula,
awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih
jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat
muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.
5.
Tipe Lepromatosa ( LL )
a.
Lesi sangat banya, simetris, permukaan
halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi
dan anhidrosis pada stadium dini.
b.
Distribusi
lesi khas :
1)
Wajah
: dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
2)
Badan
: bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
c.
Stadium
lanjutan :
1)
Penebalan
kulit progresif
2)
Cuping
telinga menebal
3)
Garis
muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis
dan keratitis.
d.
Lebih
lanjut :
1)
Deformitas
hidung
2)
Pembesaran kelenjar limfe, orkitis
atrofi, testis
3)
Kerusakan
saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
4)
Penyakit
progresif, makula dan popul baru.
5)
Tombul lesi lama terjadi plakat dan
nodus.
e.
Stadium lanjut
Serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan
pengecilan tangan dan kaki.
2.6
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis berdasarkan atas :
2.6.1
Anamnesa
2.6.2
Gambaran klinis
b.
Ditemukannya bercak kulit yang mati ras.
c.
Pada pemeriksaan didapatkan :
a)
Penebalan cuping telinga (+)
b)
madarosis (+)
c)
Kulit kering (+)
d)
Saraf facialis : kerusakan (+), penebalan (-)
e)
Saraf aurikularis magnus : kerusakan (-), penebalan
(+)
f)
Saraf medianus : kerusakan (+), penebalan (-)
g)
Saraf ulnaris : kerusakan (+), penebalan (-)
h)
Saraf peroneus : kerusakan (+), penebalan (-)
Gambar 2. Letak saraf tepi yang berhubungan
dengan kusta (ada pada lampiran)
Gambar 3. Cacat pada kusta (ada pada
lampiran)
Gambar 4. Lesi pada kusta
d.
Pada pemeriksaan laboratorium pengecatan ZN :
ditemukan bakteri tahan asam berwarna merah (globi).
e.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam
1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata
dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata
dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata
dalam 1 LP
2.6.3
Diferential Diagnosa
Pada lesi makula, differensial
diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor,Ptiriasis alba, Tinea
korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada
lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul,
Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes,
trachoma dll.
a.
Vitiligo
Makula putih berbatas tegas dan
mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan
hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas.
Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.
Hipotesis autoimun, ada hubungan
dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis
neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor
neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap
respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil
metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk –
produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan
kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada
detergen.
Gejala klinis vitiligo adalah
terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah
bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut
dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi
bilateral atau simetris. Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai
genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu
lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal
adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah
makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal
yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal
ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata,
vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan
vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh
merupakan vitiligo total.
b.
Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur.
Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan denganPtiriasis
versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malaize
furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu
faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang
diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap
enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.
Gejala klinis Ptiriasis versikolor,
kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna – warni, bentuk tidak teratur
sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu
wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan
gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti
and meat ball).
c.
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak
berambut (glabrous skin) . Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong,
eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang,
terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan
adanya papul – papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul
–papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku – siku. Lokasinya
diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan
infeksi virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun
bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengaadanya bercak – bercak eritema
berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan disertai
fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada
pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak
– bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema
sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan
bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat konfluen.
Akne Vulgaris, penyakit peradangan
menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri.
Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan
kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.
Neuropatik pada diabetes,
gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang terkena. Beberapa orang
dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul
lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan
saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan
jari – jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi,
lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis
termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah.
Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa
sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya
tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun
demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan
demensia.
2.7
Penatalaksanaan
2.7.1
Non Medikamentosa
a.
Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah
dari pada dosis therapeutik.
b.
Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya
profilaksis terhadap lepra.
c.
Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa
disembuhkan, tetapi pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk
itu pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
d.
Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien
menjadi demam, nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka
harus segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan.
e.
Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan
terjadi kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan.
f.
Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan
sabun, terutama yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen.
g.
Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air
dingin. Apabila kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering
terkelupas.
h.
Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby
oil).
i.
Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka,
kemerahan atau nyeri dan segera mencari pertolongan medis.
j.
Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai
sepatu, hindari berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda
tajam
2.7.2
Medikamentosa
1.
Pausibasiler
a)
Rifampicin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas
keperawatan.
b)
DDS (diamino difenil sulfon) 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama
6 bulan dan diselesaikan maksimal 9 bulan . Setelah selesai minum 6 dosis
2.
Multibasiler
a)
Rifampicin 600 mg/ bulan
b)
Lamprene 300 mg/bulan,
Ditambah :
c)
Lampree 50 mg/hari
d)
DDS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama
12 bulan dan diselrsaikan maksimal 18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis
3.
Mekanisme
Kerja Obat
a)
Rifampicin : Bakteriosid (membunuh kuman) ® menghambat
DNA – dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada sub unit
beta.
b)
DDS : Bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri).
Antagonis kompetitif dari para aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan
PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
c)
Lamprene : Bakteriostatik dan dapat menekan reaksi
kusta bekerja dengan menghambat siklus sel dan transport dari NAK ATPase.
4.
Efek Samping
Obat
1)
RIFAMPICIN
b)
Pernapasan ;
Seperti terjadinya sesak dan collaps
c)
Hepatitis, Ginjal.
d)
Saluran cerna : Nyeri,mual,muntah,diare.
e)
Kulit : urticaria.
f)
Flu syndrom : Demam,menggigil,sakit tulang,
2)
DDS (diamino difenil sulfon)
a)
Dermatitis exfoliatif.
b)
Hepatitis, Ginjal.
c)
Sal cerna : Anorexia,mual,muntah.
d)
Anemia.
e)
Saraf : neuropati perifer, sakit kepala, vertigo,
psikosis, sulit tidur, penglihatan kabur.
3)
LAMPRENE
a)
Saluran cerna : Diare, nyeri lambung
5.
Prognosis
Setelah program terapi obat,
biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen gejala neurologis,
kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan kerjasama dengan
tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, oftalmologis, dan
rehabilitasi.
BAB IV
SIMPULAN
Lepra
(penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya
kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit,
selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini
terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu,
jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung Mycobacterium
Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Gejala klinis dapat
berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik, motorik, san
aautonomik). Kerusakan Sensorik : hipoanastesi, anastesi pada lesi. Motorik :
kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Autonomik : Persarafan kelenjar
keringat sehingga lesi terserang nampak lebih kering.
Morbus
Hansen jika didiagnosis dini dan pengobatan tepat dan segera menghasilkan
prognosis baik
DAFTAR PUSTAKA
Armaeur H.
1875. Morbus Hansen.
Asing I.
2009. Morbus Hansen (kusta/lepra). Askep gangguan muskuloskeletal.
Barakbah J.
Prof. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya
Djuanda,
adi, Hamzah Mochtar, Aizah siti, 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi 4.
FK UI.Jakarta
Erfandi.
2010. Penyakit Kusta dan Asuhan Perawatan
Fadillah Y.
2008. Morbus Hansen (Lepra)